Kebahagiaan Bruto Nasional (Gross National Happiness/GNH)
Druk Gyalpo keempat, Jigme Sinye Wangchuk, menemukan istilah "Kebahagiaan Bruto Nasional/Gross National Happiness" (GNH) saat ia berumur 18 tahun di tahun 1972. Ia berpendapat bahwa Produk Bruto Nasional/Gross National Product (GNP) saja tidak cukup untuk mengukur kesuksesan sebuah negara. GNP dan GDP (Gross Domestic Product/Produk Bruto Domestik) ditetapkan sebagai ukuran yang terlalu menekankan pada produksi dan konsumsi, dengan kata lain kekayaan material. Keduanya tidak mengukur tingkat kesejahteraan dan kebahagiaan suatu negara.
Untuk mengerti GNH, Anda harus memahami konsep kebahagiaan terlebih dahulu. Dalam konteks sekuler, kebahagiaan bergantung pada pengalaman seseorang di masa lalu dan masa sekarang. Tetapi pada abad terakhir, kebahagiaan sering dihubungkan dengan afktor eksternal yang bergantung pada kekayaan materi. Ini terjadi karena perpindahan ke kota yang memutus hubungan individu dengan komunitas, keluarga, dan alam. Tingkat kebahagiaan yang muncul dari kekayaan materi terbatas jumlahnya, tidak seperti kebahagiaan karena pemicu internal seperti kepuasan dan kesejahteraan.
Konsep GNH memberikan prinsip dasar untuk membuat peraturan yang memastikan bahwa ada keseimbangan antara faktor materi dan non-materi, dengan penekanan pada kehidupan yang harmonis, konservasi lingkungan, dan perlindungan tradisi dan budaya yang sakral.
Raja keempat memastikan bahwa GNH menjadi DNA dari setiap pembuatan peraturan dengan memasukkannya ke dalam Konstitusi Bhutan yang diturunkan 2 tahun setelah ia turun tahta. Peraturan yang dibuat selalu mempunyai unsur GNH.
Hasil dari visi Raja Keempat dibuktikan oleh posisi Bhutan dalam pemetaan kebahagiaan dunia yang pertama di tahun 2007. Bhutan berada di peringkat pertama di Asia dan ke-8 di duna, sedangkan GDP mereka berada di peringkat 137 di dunia. Data ini berlawanan dengan keyakinan bahwa orang di negara dengan layanan kesehatan yang baik, GDP per kapita yang lebih tinggi, dan akses pendidikan lebih mungkin bahagia. Orang Bhutan, sama seperti pengamatan orang luar, berpendapat bahwa rahasia dari kebahagiaan mereka terletak pada keamanan hubungan komunitas dan keluarga mereka, dan gaya hidup mereka yang mandiri. Kepercayaan Buddha mereka, yang percaya bahwa keinginan adalah akar penyebab dari ketidakbahagiaan, memandu hidup mereka.
Orang yang skeptis dan pragmatis yang meragukan konsep tersebut menjadi yakin saat mereka mengunjungi negara kecil yang terletak di timur Himalaya antara Tibet dan India ini. Mereka tersentuh akan kesederhanaan hubungan mereka, dan terpesona akan komitmen negara itu terhadap konservasi alam dan tradisi serta budayanya.
Fokus pada kehidupan komunal dan kekerabatan ternyata diajarkan sejak kecil. Anak-anak mengerti bahwa mengurus keluarga adalah tanggung jawab mereka. Usaha terus menerus untuk memastikan warisan dan budaya mereka yang kaya diturunkan tidak terbentur oleh ekonomi. Sekitar 40 Tsechu (festival keagamaan) diadakan sepanjang tahun di berbagai dzongkhag (distrik) berfokus pada tarian cham yang menceritakan kisah dari abad ke-9. Tsechu berisi warna-warni dari kostum tradisional dengan atmosfir semangat. Perkumpulan sosial yang besar ini mempromosikan kehidupan komunal yang langka di banyak negara perkotaan. Kepercayaan mereka untuk hidup harmoni berdampingan dengan lingkungan alam tidak sia-sia. Sekarang, hutan Bhutan yang diatur hukum untuk berjumlah minimal 60% membuat lingkungan yang murni dengan puncak tertinggi dunia dan mendapat julukan "Shangri-La terakhir".
Secara internasional, konsep GNH disambut dengan baik. Mungkin karena masyarakat luas sudah menyadari bahwa setelah seabad fokus pada pertumbuhan ekonomi atau GDP, walaupun menjadi lebih kaya, ada masalah muncul seperti kriminal, keseimbangan pekerjaan-keluarga, dan hubungan keluarga yang disfungsional dan tantangan lain terkait dengan lingkungan.
Mengikuti proposisi pertamanya di tahun 1972 oleh Raja Keempat, negara seperti Thailand, Korea Selatan, Dubai, dan Kanada meluncurkan Indeks Kebahagiaan mereka sendiri, Bahkan di tahun 2011, Majelis Umum PBB mengeluarkan Revolusi 65/309 berjudul: "Kebahagiaan: menuju pendekatan holistik untuk perkembangan" dan resolusi ini diadopsi oleh Majelis Umum pada bulan Juli 2011, menempatkan "kebahagiaan" pada agenda pengembangan global.
Di tahun 2005, Pemerintahan Kerajaan Bhutan memutuskan untuk mengaplikasikan konsep teoritis ini menjadi praktek yang sesungguhnya. Pusat Pembelajaran Bhutan (Centre for Bhutan Studies/CBS) ditugaskan untuk implementasi dan sebuah survey di tahun 2007 menghasilkan indeks GNH.
Saat ini, GNH dikenal mempunyai 4 pilar dasar:
Konservasi Lingkungan
Badan konstitusional Bhutan menyatakan bahwa Bhutan harus mempertahankan setidaknya 60% hutan dari keseluruhan luas negara. Saat ini, 72% luas Bhutan adalah hutan dan lebih dari sepertiga dilindungi. Salah satu alasan selain menjaga keseimbangan sistem ekologi adalah juga untuk menjaga medan pegunungan. Kurangnya hutan akan menyebabkan longsor di musim hujan.
Tetapi komitmen ini mengorbankan pengembangan ekonomi. Pemerintah memutuskan untuk tidak mengekspor kayu ke India walaupun bisa menghasilkan banyak pemasukan, karena pemerintah ingin berfokus pada dampak jangka panjang, bukan keuntungan jangka pendek.
Pengembangan Adil dan Berkelanjutan
Peraturan Bhutan memiliki tujuan untuk membuat pengembangan yang adil dan berkelanjutan, memungkinkan masyarakat untuk menikmati layanan kesehatan, pendidikan, dan sosial yang berstandar tinggi. Salah satu fokus di pilar ini adalah memastikan keuntungan dari pengembangan yang dilakukan dapat diakses oleh semua orang, tidak peduli siapa mereka atau tempat tinggal mereka.
Pemerintahan yang Baik
Raja Keempat adalah raja yang visioner dan mengerti bahwa sebuah negara hanya bisa bertahan menggunakan pemerintahan demokratis. Ia pertama kali memulai proses desentralisasi di tahun 1998 saat ia menciptakan peran Perdana Menteri. Masyarakat Bhutan mempertanyakan keputusan ini, karena Bhutan di bawa kepemimpinannya telah menikmati kedamaian dan hasil. Tetapi Raja Keempat menjelaskan bahwa kekuatan yang hanya dipegang satu orang mungkin bisa menjadi pemerintahan yang sukses sekarang, tetapi tidak di generasi selanjutnya. Keputusannya tidak pernah dilakukan sebelumnya karena biasanya di Barat, pihak kerajaan tidak pernah mencetuskan demokrasi, tetapi orang-orang yang beroposisi dengan negara.
Pelestarian Budaya
Dengan perkotaan dan pemisahan individu dari komunitas mereka, budaya dan tradisi pasti hilang. Bhutan membuat usaha bersama untuk melestarikannya. Arsitektur, ritual tradisional, acara kebudayaan, dan kostumnya yang unik merupakan bagian dari cara hidup Bhutan.
Empat pilar tersebut berperan sebagai fondasi prinsip dasar dari GNH dan diaplikasikan dalam 9 area:
- Standar kehidupan
- Pendidikan
- Kesehatan
- Lingkungan
- Vitalitas komunitas
- Penggunaan waktu
- Kesejahteraan psikologis
- Pemerintahan baik
- Ketahanan budaya dan promosi
Saat Raja Keempat mencetuskan konsep GNH dan membuka negaranya untuk demokrasi, semua orang pasti menganggap fokusnya adalah pada pengembangan ekonomi masyarakatnya. Tetapi Raja Keempat adalah seorang visioner dan mengetahui masalah yang akan muncul. Untuk melindungi masyarakat, ia menanamkan konsep GNH pada pikiran orang-orang dan pemerintahannya, membuat masyarakat utopia yang diinginkan banyak orang.
Seperti kata Karma Ura, Direktur Pusat Pembelajaran Bhutan, "Masyarakat yang berpegang pada GNH mempromosikan siklus hidup sukses dari lahir, hidup, menua, dan meninggal." Dari masa kecil yang bahagia dengan orangtua, hingga hidup sukses dengan pekerjaan yang produktif, memuaskan, dan menyenangkan, menjadi penting di usia emas, hingga meninggal dengan "baik" dari sisi spiritual. Inilah inti orientasi kehidupan GNH, dan hingga saat ini para pembuat aturan dan kerajaan Bhutan berkomitmen bukan hanya membuat negara ini menjadi modern, tetapi menurunkan legislatif yang emnjaga kebahagiaan dan pengembangan ekonomi bagi orang-orang terbahagia di dunia.
Saksikan BBC Tavel Show menjelaskan Kebahagiaan Bruto Nasional di sini.