Apakah itu benar-benar pendaratan penerbangan paling berbahaya di dunia, di mana hanya ada beberapa pilot yang memenuhi syarat untuk terbang ke Negeri Naga Halilintar? Kami pun berbincang dengan seorang pilot Drukair untuk memperjelasnya.
Selanjutnya, bayangkan bernavigasi di sekitar lembah panjang, berliku, sempit yang dikelilingi oleh pegunungan setinggi 18.000 kaki, dengan mode manual (dengan pengalaman belaka!).
Akhirnya, sementara sebagian besar bandara menawarkan setidaknya jarak 10 mil-laut (kira-kira 18 km) bagi pilot untuk mengukur pendekatan yang paling selaras ke jalur pendaratan, bandara ini hanya menyediakan satu hingga dua mil-laut; yang secara harfiah berarti bahwa sama sekali tidak ada ruang untuk kesalahan.
Kita berbicara tentang penerbangan masuk dan keluar dari Bandara Internasional Paro, pintu gerbang utama ke Negeri Naga Halilintar.
Jika penerbangan ke Bhutan memerlukan keterampilan yang hebat, Anda pasti bertanya-tanya apa yang terjadi di dalam kokpit?
Ya, kami bertemu dengan Namgyal Wangchuk, Perwira Pertama Senior dengan Drukair, Royal Bhutan Airlines untuk 'kisah nyata' di balik pendaratan ke Paro.
1) Ini benar-benar adalah salah satu penerbangan 'paling menantang' di dunia.
Sederhananya, apa yang membuat penerbangang ke Paro suatu tantangan adalah karena medan kasar yang mengelilingi Bandara Internasional Paro.
Pegunungan bisa setinggi 18.000 kaki. Sebaliknya, bandara ini berada di ketinggian 7.364 kaki.
Secara teknis, ini mempengaruhi dan membatasi kinerja pesawat. Seorang pilot yang menavigasi jet berukuran sedang akan membutuhkan lebih banyak ruang dan waktu untuk membuat keputusan penting selama tinggal landas dan mendarat.
2) Bayangkan panjang landasan pacu Bandara yang hanya setengah ukuran Bandara Changi (Singapura), dan Anda akan memiliki gambaran tentang jalur pendaratan Bandara Paro yang sangat terbatas.
Faktor lain yang membuat terbang ke Paro unik dan menantang adalah panjangnya landasan. Panjangnya hanya 7,431 kaki (dibandingkan dengan Bandara Changi 13,123 kaki), dan semua faktor di atas menuntut pilot untuk mendarat dengan sangat tepat.
3) Pesawat selalu dapat mendarat dalam mode pilot otomatis, bukan?
Tetapi bukan untuk pendekatan ke Paro. Kami memiliki prosedur pendaratan perusahaan sendiri yang telah dirancang oleh kapten dan pabrik pembuat / perancang pesawat berpengalaman kami.
Ini menentukan kecepatan dan ketinggian yang harus kita miliki di setiap pos pemeriksaan saat mendekati turun. Saya tidak akan memerinci karena ini cukup teknis!
4) Jika para pilot tidak dapat terbang secara manual dengan percaya diri, maka Bandara Internasional Paro tidak bisa menjadi pilihan untuk mereka masuki.
Bandara internasional lainnya memiliki teknologi yang disebut ILS (Instrument Landing System) yang memandu pesawat secara lateral dan vertikal dalam pendekatan pendaratan.
Namun di Paro, proses landing selalu diterbangkan secara manual dan kami hanya memiliki satu peralatan VOR (Very high frequency Omni-directional range) untuk memandu kami.
5) Anda tidak akan pernah menemukan orang dengan penerbangan larut malam ke Bhutan.
Semua penerbangan ke Paro terbatas hanya untuk Kondisi Meteorologi Visual. Ini berarti bahwa harus ada visibilitas yang cukup dari pesawat lain dan medan di sekitarnya. Dengan demikian, penerbangan terikat Bhutan dibatasi pada siang hari, sehingga penerbangan malam hari tidak memungkinkan!
6) Memikirkan pemandangan Pegunungan Himalaya yang memikat? Tunggu, masih ada lagi.
Seperti yang mungkin Anda pernah dengar, negara kami telah melestarikan lingkungan hutannya sehingga ketika kami terbang, kami sangat dekat dengan pegunungan yang memungkinkan Anda melihat pemandangan yang menakjubkan.
Mendekati bandara, sawah selalu berubah warna sesuai musim, sehingga memberikan pengalaman yang sangat menakjubkan juga.
7) Ya, Drukair juga memiliki pilot asing!
Dahulu ada sangat sedikit pilot internasional dengan Drukair, tetapi sekarang sektor penerbangan di Bhutan secara umum berkembang pesat. Saat ini, kami memiliki 25 orang pilot Bhutan serta 10 orang pilot asing.